Post by certhingy on Oct 4, 2006 15:14:59 GMT -5
Langit mulai memerah, sesaat lagi beranjak malam. Lagi-lagi aku mengutuk dalam hati, sudah berapa banyak hari yang aku lewatkan secara sia-sia hanya untuk menunggu hal yang tak pasti. Tapi aku tak kuasa untuk melawan harapan ini, aku masih terus berharap.
Tepian pantai mulai kelabu, sebagai gantinya pendar-pendar cahaya petromak yang berasal dari warung gubuk dipinggir pantai mulai terlihat, tanda kehidupan malam pantai mulai bergeliat.
Semua berawal dari pantai dan pondok ini tepat 5 tahun yang lalu. Kala yang sama lima tahun lalu, masih teringat momen yang tidak akan pernah kulupakan dalam salah satu episode dalam kehidupanku.
“Benar kamu akan tetap menunggu aku nar...?” sayup suara pia menerobos kekupingku seakan berlomba dengan suara pecahan ombak dan burung camar yang terbang diatas kami. Aku hanya terdiam dan tertunduk....betapa berat kenyataan yang harus kuhadapi.
Pia gadis yang sudah 2 tahun ini menjadi wanita yang kucintai ternyata harus pergi meninggalkanku karena akan mengikuti orang tuanya pindah tugas ke Jakarta. “Ganar....kamu dengar apa yang aku katakan tadi?” . Helaan nafas berat ku pun keluar.
Setelah apa yang sudah kami jalani selama 2 tahun ini membuat aku yakin bahwa aku benar-benar mencintai Pia. Tapi aku belum berani untuk berharap lebih jauh mengenai hubungan kami ini, karena belum genap 1 tahun aku bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil yang hanya bermodal ijazah SMU dan kursus komputer dan orang tuaku hanyalah petani.
Apa yang akan aku banggakan kehadapan orang tua Pia dengan kondisi ku yang seperti ini ?. Sedangkan Pia adalah anak seorang Direktur Perwakilan sebuah perusahaan pelayaran besar.
Tapi rasa sayang yang kami miliki memang tidak terpengaruh oleh kondisi yang sangat jauh berbeda.
“Memangnya kamu akan kembali lagi kesini Pi..?” suaraku terdengar gundah. “Nar, aku hanya akan mengikuti orang tuaku selama aku kuliah, selesai kuliah aku akan kembali kepulau ini untuk mengabdikan ilmuku untuk pulau ini, aku teramat cinta dengan pulau ini, apalagi dipulau ini ada orang yang aku cintai yaitu kamu nar...” sela Pia.
Sedikit terhibur hati ini mendengar kata-kata dari Pia. Aku percaya ucapannya tulus dan jujur. “Baik Pi....aku akan menunggu kamu dengan segenap cinta yang aku punya”.
Di pondok pinggir pantai ini kami pun berikrar untuk saling setia selama masa penantian nanti. Pondok ini pun kami beri nama Pondok Pinar dan kami berjanji untuk kembali kepondok ini apabila Pia sudah selesai kuliah dan kembali ke pulau ini, dan kami sama-sama berjanji akan merajut kembali benang-benang kasih yang sempat terputus nanti.
Hampir tiap minggu selama 5 tahun sejak kepergian Pia, aku selalu sempatkan waktu untuk datang ke pondok ini sekedar untuk mengenang janji yang telah kami ikrarkan sambil menikmati pemandangan saat mentari perlahan sembunyi di balik garis cakrawala, sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan dan ada kepuasan batin yang kurasakan apabila mengingat ucapan Pia disini 5 tahun yang lalu.
Sudah menginjak tahun ke 5 sejak kejadian itu.....aku masih berharap Pia kembali, walaupun sejak tahun ke 2 Pia pindah ke Jakarta kami sama sekali putus hubungan komunikasi.
Selama ini komunikasi kami jalin lewat surat, karena aku merasa kalau menulis surat aku akan lebih bebas untuk mencurahkan segala rasa yang kualami.
Tapi selama 3 tahun belakangan Pia tidak pernah membalas surat-surat yang ku kirimkan kepadanya. Tetapi aku tetap terus rutin mengirimkan surat untuk Pia sampai sekarang walaupun tidak ada balasan dari Pia.
Karena aku merasa janji yang sudah kami ikrarkan dulu tetap kami pegang teguh. Walaupun aku harap-harap cemas akan kenyataan ini. Akupun tidak mungkin untuk menyusul Pia ke Jakarta untuk melihat keadaannya karena kondisi keuanganku tidak memungkinkan untuk itu.
Aku merasa bagaikan punguk merindukan bulan. Aku hanya tak henti memohon kepada yang kuasa untuk Pia agar diberi keselamatan dan kesehatan agar bisa kembali dalam kehidupanku.
“Ganar........” aku tersentak dari lamunanku, “itu suara Pia” batinku. Aku menoleh kekiri dan kekanan tetapi tidak ada seorangpun ada didekatku. Apakah itu tadi hanya halusinasiku saja..?, tetapi suara tadi jelas terdengar ditelingaku. Aku memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepalaku dengan kencang untuk mengusir halusinasi itu. “Ganar.......” suara itu muncul lagi, perlahan kubuka kedua kelopak mataku dan berbalik kebelakang, aku terkesima......terdiam mematung tanpa kuasa untuk berbuat apapun.
Didepanku berdiri sosok gadis yang selama ini kunanti. “Pia......?” suara ku terdengar agak tertahan di tenggorokan. Senyum manis Pia mengembang, kulihat sosok Pia agak berbeda, wajahnya lebih bercahaya. Aku tak kuasa untuk berbicara lebih, segala macam rasa berkecamuk didalam dada yang bergemuruh tanpa irama yang beraturan.
Sekian saat baru aku bisa menenangkan diri dan hatiku. Aku mulai mengatur nafasku yang tadi memburu tidak karuan. “Aku datang untuk memenuhi janjiku...” lembut terdengar suara Pia.
Aku mengangguk dan tersenyum. “Aku yakin kamu akan datang menepati janjimu” ujarku. “Ya Tuhan....betapa rindunya aku akan sosok yang ada didepanku saat ini” batinku.
Lepas rasanya segala beban penantian selama ini. Ku gamit lengan Pia untuk duduk disebelahku. Dan selama beberapa saat kami saling bercerita mencurahkan perasaan yang selama ini terpendam.
Sambil bercerita kepala Pia bersender di bahuku, ku hirup aroma yang begitu wangi dari rambutnya. Terlena oleh perasaan masing-masing membuat aku lupa bertanya tentang suratku yang selama 3 tahun ini tidak pernah dibalas oleh Pia.
Aku hanya berpikir yang penting orang yang begitu aku cintai selama ini sekarang sudah berada disisiku.
Tanpa terasa waktu beranjak malam, tiba-tiba Pia memegang kedua belah pipiku dan memalingkan wajahku berhadapan dengan wajahnya sehingga mata kami beradu pandang.
Dalam temaram cahaya bulan aku melihat sorot mata Pia yang berkaca-kaca. “Ganar...aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menepati janjiku untuk kembali ketempat ini, apapun yang terjadi nanti...yang perlu kamu tau bahwa cintaku hanyalah untuk mu, aku lega sudah bisa menepati janji kita 5 tahun yang lalu....” suara Pia terdengar terbata-bata. “nar....demi aku kamu harus mencari orang yang benar-benar kamu cintai untuk menjadi penggantiku, aku hargai kesetiaanmu selama ini kepadaku, hal itulah yang membuat saat ini bisa terjadi” kata-kata Pia terdengar aneh bagiku, tapi aku tak kuasa untuk berkata-kata, lidahku serasa kelu oleh tajamnya sorot mata Pia.
Sambil menangis Pia melanjutkan kata-katanya “Nar....aku teramat mencintai kamu, tapi kamu harus lega menerima kenyataan ini, aku tenang setelah ini karena sudah memenuhi janjiku kepadamu untuk menemui kamu hari ini, tapi aku tidak bisa terus hidup bersama kamu......” setelah menyelesaikan kata-katanya Pia berbalik dan langsung berlari meninggalkanku dalam keadaan menangis.
Aku terdiam beberapa saat, kemudian aku tersentak dan tersadar. Aku berlari menyusul Pia sambil berteriak memanggil namanya. Aku merasa gerakan Pia begitu cepat sehingga aku tidak berhasil menyusulnya.
Sembari terus memanggil manggil nama Pia aku menyusuri bibir pantai mencari sosok Pia, tetapi lagi-lagi tidak berhasil kutemukan. Aku menduga Pia sudah pergi dengan kendaraan yang sudah menunggu dari tadi.
Selama beberapa hari aku keluar masuk penginapan yang ada di daerah ku untuk mencari keberadaan Pia, juga bertanya kepada teman-teman lama Pia untuk mengetahui keberadaan Pia. Tetapi semuanya nihil, tidak ada nama Pia terdaftar sebagai tamu penginapan, bahkan teman-teman lama Pia pun tidak pernah tau kalau Pia kembali kepulau ini karena mereka tidak pernah dikunjungi Pia.
Aku kecewa.....aku pikir, kebahagiaan yang akan aku dapat atas segala pengorbananku untuk menunggu sekian lama, tetapi ternyata kepedihan yang aku terima.
Lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri atas kebodohan yang telah aku lakukan selama ini. Aku merasa telah dibutakan oleh cinta suci yang aku punya, sehingga logikanya tidak aku pikirkan lagi.
Akhirnya aku berpikir lebih realistis, memang tidak mungkin rasanya aku untuk bersatu dengan Pia dengan adanya jurang perbedaan yang begitu besar diantara kami.
Aku berprediksi pasti Pia sudah mendapatkan jodoh yang sepadan dengan keadaan keluarga mereka. Sedikit demi sedikit aku sudah bisa menerima kenyataan pahit yang aku alami beberapa waktu yang lalu dan berusaha untuk menghapus nama Pia didalam hatiku, aku berusaha mengubur dalam-dalam segala kenangan yang selama ini aku pendam.
Selang 2 minggu setelah kejadian tersebut, aku ditugaskan oleh dinas tempatku bekerja untuk mengikuti diklat di Jakarta. Aku begitu antusias karena ini kali pertama aku datang ke Jakarta.
Selama di Jakarta hatiku tergelitik untuk datang ke alamat Pia, maksudku sekedar untuk melihat kabar Pia sekarang dan untuk menyampaikan rasa ikhlasku atas tindakannya yang telah meninggalkanku. Karena aku berfikir walaupun kami tidak jodoh tetapi tali silaturrahmi tetap harus dijaga karena kami dulu pernah saling menyayangi.
Dengan keberanian yang dengan susah payah aku kumpulkan, hari itu aku menuju ke alamat Pia yang aku tahu di jakarta, karena aku pikir inilah saatnya untuk mengetahui hal yang sebenarnya, karena belum tentu ada kali lain aku ditugaskan dijakarta lagi.
Tidak begitu susah untuk mencari alamat Pia karena posisi rumah yang terletak di jalan raya. Lama aku termenung di seberang jalan memandang rumah besar bercat krem berpagar hijau tinggi yang ada diseberangku, tidak salah lagi ini alamatnya batinku.
Sempat ada keinginanku untuk berbalik arah mengurungkan niatku. Tapi Ah....aku nggak perduli apa yang akan terjadi nanti, pikirku karena kapan lagi aku bisa bertemu dengan Pia untuk yang terakhir kalinya.
Akhirnya dengan tekad yang bulat aku menyeberang menuju rumah yang ada di depanku. Aku menekan bel yang ada dipagar, tak lama keluar laki-laki yang tampaknya adalah penjaga rumah, aku menanyakan kepada laki-laki itu mengenai kebenaran alamat yang aku catat dan dibenarkan oleh laki-laki itu.
“Bapak cari siapa?” ujar laki-laki penjaga rumah, “saya mau bertemu dengan Pia pak....” jawabku. Pria itu sontak tertegun.....”Maaf Bapak siapa ya...?” dengan sedikit nada heran lelaki itu bertanya.
Lalu aku mengaku adalah teman lama dan kusebutkan nama pulau daerahku. Mendengar hal ini lelaki itu berkata “Bapak tunggu dulu ya....,saya tanya yang punya rumah dulu” lelaki itu kembali masuk kedalam rumah, tak lama dia kembali dengan seorang Ibu yang menunggu diteras rumah. “Bapak masuk aja, bertemu dengan ibu yang punya rumah” ujar penjaga rumah sembari membukakan pagar untuk ku, sambil mengucapkan terima kasih aku bergegas menuju teras rumah itu.
Agak heran karena Ibu yang menungguku diteras rumah bukan Ibunya Pia, setelah mengucapkan salam akupun dipersilahkan duduk dikursi teras oleh Ibu itu.
Sedikit berbasa-basi sebelumnya, Ibu itu kemudian memperkenalkan diri sebagai Ibu Lisa yang adalah adik Ibunya Pia. Dan aku pun memperkenalkan diriku. Mendengar namaku dan daerah asalku, Ibu Lisa tertegun. Akupun kembali menanyakan keberadaan Pia.
Ibu Lisa termenung beberapa saat kemudian cerita mengalir dari mulutnya. Mendengar cerita sesungguhnya dari Ibu Lisa aku merasa lemas dan kepalaku terasa berkunang-kunang, bumi tempatku berpijak seakan berputar, aku hampir pingsan mendengar cerita Ibu Lisa.
Aku tidak kuasa mendengar semua hal yang diceritakan oleh Ibu Lisa, yang ku ingat dan terus terngiang ditelingaku hanyalah kecelakaan pesawat yang ditumpangi oleh Pia sekeluarga 3 tahun yang lalu, tidak ada seorangpun yang selamat dari keluarga Pia.
Langit kurasa runtuh menimpaku. Tak kuasa menahan kepedihan akupun pamit pulang kepada Ibu Lisa, sebelum aku beranjak tiba-tiba Ibu Lisa seperti teringat akan sesuatu dan meminta aku menunggu beberapa saat, Ibu Lisa pun masuk kedalam rumah dan tak lama kembali dengan setumpuk amplop surat yang masih utuh belum dibuka, setelah aku periksa ternyata itu adalah surat-surat yang aku kirimkan selama ini yang masih mereka kumpulkan.
Kemudian Ibu Lisa memberikan sebuah buku yang menyerupai diary yang ternyata adalah memang diarynya Pia yang didalamnya kata Ibu Lisa banyak tulisan mengenai diriku.
“Andalah yang berhak untuk menyimpan Diary ini nak ganar” ujar Ibu Lisa. Aku pun menerima barang-barang tersebut sembari mengucapkan terima kasih dan kemudian bergegas kembali ke mess dengan menumpang taxi.
Selama perjalanan di dalam taxi aku tak kuasa membendung air mata yang akhirnya tumpah keluar, tak ku perdulikan lagi tatapan bingung supir taxi dari balik kaca spion melihat keadaanku ini.
Sesampai di mess aku langsung masuk kekamar dan mengunci pintu dari dalam, setelah hatiku agak tenang aku pun mengambil wudhu dan sholat.
Selesai sholat perlahan aku buka lembar demi lembar isi diary Pia, setelah membaca isi diary tersebut baru aku tahu betapa besar dan dalam cinta Pia kepada diriku, kesetiaan yang kami ikrarkan dulu ternyata memang benar-benar dijaga oleh Pia.
Lagi-lagi aku mengutuk diriku yang bodoh karena telah sempat mempunyai prasangka buruk terhadap Pia beberapa waktu yang lalu.
Didalam diary itu juga ku baca betapa besarnya tekad Pia untuk memenuhi janjinya yang dia ikrarkan dulu. Tiba-tiba aku tersentak dan bulu kudukku agak merinding......ingat kejadian beberapa minggu yang lalu dimana Pia menemuiku di tempat kami mengikrarkan janji kami.
“Jadi......?” batinku, akupun mengucapkan istighfar, “yang datang kepadaku waktu itu....ah sulit untuk diterima akal sehat”. Yang aku yakini sekarang adalah begitu besar cinta Pia kepadaku dan begitu besar tekad seorang Pia untuk memenuhi janjinya walaupun dia sudah tiada.
Aku kembali berdoa semoga arwah Pia bisa tenang karena sudah memenuhi janjinya persis seperti yang dia ucapkan waktu itu. Dan aku juga berjanji didalam hati tidak akan menghapus rasa cintaku terhadap Pia sampai kapanpun.
Setelah 10 tahun berlalu, aku masih mempunyai kebiasaan duduk dikursi tempat aku dan Pia berikrar dulu, rasanya baru kemarin hal itu terjadi, kenangan yang tidak akan terhapus dalam episode hidupku.
“Ganar......” aku tersentak, suara itu begitu ku kenal, suara orang yang sangat aku cintai, tapi aku tau itu hanya halusinasi, aku masih sering merasa sosok Pia tetap ada didekatku dan duduk menemaniku menikmati pemandangan matahari tenggelam yang indah.
“Ganar......” aku menoleh, itu suara ibuku, “sampai kapan kamu akan terus begini nak...” Ibu selalu terenyuh apabila melihatku duduk di pondok ini sambil memandang kosong kedepan.
Ibu tak henti-hentinya berusaha membujukku untuk mencari pasangan hidup, tetapi sampai sekarang aku belum ada niat untuk itu, karena cintaku masih tetap selalu untuk Pia.
“Nar....sudah banyak tamu yang datang” ujar ibu ku, aku membalikkan badan, di hadapanku terpampang papan nama Pondok Pinar, yah.....dari hasil bekerja selama ini aku berhasil menabung untuk membangun rumah makan yang aku beri nama Pondok Pinar yang terletak persis dibelakang pondok kecil tempat aku mengikrarkan janji dengan Pia.
Pondok itu aku dedikasikan untuk almarhum Pia sebagai bukti kesetiaan dan cinta putih kami, dan kebetulan yang datang biasanya pasangan yang sedang berpacaran yang tak lama kemudian melangsungkan pernikahan, entah karena kebetulah atau tidak, aku tidak mau berfikir terlalu jauh, aku hanya bersyukur dan berharap mudah-mudahan hal itu karena pancaran kesetiaan dan cinta putih aku dan Pia.
By : Eko Christian
Tepian pantai mulai kelabu, sebagai gantinya pendar-pendar cahaya petromak yang berasal dari warung gubuk dipinggir pantai mulai terlihat, tanda kehidupan malam pantai mulai bergeliat.
Semua berawal dari pantai dan pondok ini tepat 5 tahun yang lalu. Kala yang sama lima tahun lalu, masih teringat momen yang tidak akan pernah kulupakan dalam salah satu episode dalam kehidupanku.
“Benar kamu akan tetap menunggu aku nar...?” sayup suara pia menerobos kekupingku seakan berlomba dengan suara pecahan ombak dan burung camar yang terbang diatas kami. Aku hanya terdiam dan tertunduk....betapa berat kenyataan yang harus kuhadapi.
Pia gadis yang sudah 2 tahun ini menjadi wanita yang kucintai ternyata harus pergi meninggalkanku karena akan mengikuti orang tuanya pindah tugas ke Jakarta. “Ganar....kamu dengar apa yang aku katakan tadi?” . Helaan nafas berat ku pun keluar.
Setelah apa yang sudah kami jalani selama 2 tahun ini membuat aku yakin bahwa aku benar-benar mencintai Pia. Tapi aku belum berani untuk berharap lebih jauh mengenai hubungan kami ini, karena belum genap 1 tahun aku bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil yang hanya bermodal ijazah SMU dan kursus komputer dan orang tuaku hanyalah petani.
Apa yang akan aku banggakan kehadapan orang tua Pia dengan kondisi ku yang seperti ini ?. Sedangkan Pia adalah anak seorang Direktur Perwakilan sebuah perusahaan pelayaran besar.
Tapi rasa sayang yang kami miliki memang tidak terpengaruh oleh kondisi yang sangat jauh berbeda.
“Memangnya kamu akan kembali lagi kesini Pi..?” suaraku terdengar gundah. “Nar, aku hanya akan mengikuti orang tuaku selama aku kuliah, selesai kuliah aku akan kembali kepulau ini untuk mengabdikan ilmuku untuk pulau ini, aku teramat cinta dengan pulau ini, apalagi dipulau ini ada orang yang aku cintai yaitu kamu nar...” sela Pia.
Sedikit terhibur hati ini mendengar kata-kata dari Pia. Aku percaya ucapannya tulus dan jujur. “Baik Pi....aku akan menunggu kamu dengan segenap cinta yang aku punya”.
Di pondok pinggir pantai ini kami pun berikrar untuk saling setia selama masa penantian nanti. Pondok ini pun kami beri nama Pondok Pinar dan kami berjanji untuk kembali kepondok ini apabila Pia sudah selesai kuliah dan kembali ke pulau ini, dan kami sama-sama berjanji akan merajut kembali benang-benang kasih yang sempat terputus nanti.
Hampir tiap minggu selama 5 tahun sejak kepergian Pia, aku selalu sempatkan waktu untuk datang ke pondok ini sekedar untuk mengenang janji yang telah kami ikrarkan sambil menikmati pemandangan saat mentari perlahan sembunyi di balik garis cakrawala, sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan dan ada kepuasan batin yang kurasakan apabila mengingat ucapan Pia disini 5 tahun yang lalu.
Sudah menginjak tahun ke 5 sejak kejadian itu.....aku masih berharap Pia kembali, walaupun sejak tahun ke 2 Pia pindah ke Jakarta kami sama sekali putus hubungan komunikasi.
Selama ini komunikasi kami jalin lewat surat, karena aku merasa kalau menulis surat aku akan lebih bebas untuk mencurahkan segala rasa yang kualami.
Tapi selama 3 tahun belakangan Pia tidak pernah membalas surat-surat yang ku kirimkan kepadanya. Tetapi aku tetap terus rutin mengirimkan surat untuk Pia sampai sekarang walaupun tidak ada balasan dari Pia.
Karena aku merasa janji yang sudah kami ikrarkan dulu tetap kami pegang teguh. Walaupun aku harap-harap cemas akan kenyataan ini. Akupun tidak mungkin untuk menyusul Pia ke Jakarta untuk melihat keadaannya karena kondisi keuanganku tidak memungkinkan untuk itu.
Aku merasa bagaikan punguk merindukan bulan. Aku hanya tak henti memohon kepada yang kuasa untuk Pia agar diberi keselamatan dan kesehatan agar bisa kembali dalam kehidupanku.
“Ganar........” aku tersentak dari lamunanku, “itu suara Pia” batinku. Aku menoleh kekiri dan kekanan tetapi tidak ada seorangpun ada didekatku. Apakah itu tadi hanya halusinasiku saja..?, tetapi suara tadi jelas terdengar ditelingaku. Aku memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepalaku dengan kencang untuk mengusir halusinasi itu. “Ganar.......” suara itu muncul lagi, perlahan kubuka kedua kelopak mataku dan berbalik kebelakang, aku terkesima......terdiam mematung tanpa kuasa untuk berbuat apapun.
Didepanku berdiri sosok gadis yang selama ini kunanti. “Pia......?” suara ku terdengar agak tertahan di tenggorokan. Senyum manis Pia mengembang, kulihat sosok Pia agak berbeda, wajahnya lebih bercahaya. Aku tak kuasa untuk berbicara lebih, segala macam rasa berkecamuk didalam dada yang bergemuruh tanpa irama yang beraturan.
Sekian saat baru aku bisa menenangkan diri dan hatiku. Aku mulai mengatur nafasku yang tadi memburu tidak karuan. “Aku datang untuk memenuhi janjiku...” lembut terdengar suara Pia.
Aku mengangguk dan tersenyum. “Aku yakin kamu akan datang menepati janjimu” ujarku. “Ya Tuhan....betapa rindunya aku akan sosok yang ada didepanku saat ini” batinku.
Lepas rasanya segala beban penantian selama ini. Ku gamit lengan Pia untuk duduk disebelahku. Dan selama beberapa saat kami saling bercerita mencurahkan perasaan yang selama ini terpendam.
Sambil bercerita kepala Pia bersender di bahuku, ku hirup aroma yang begitu wangi dari rambutnya. Terlena oleh perasaan masing-masing membuat aku lupa bertanya tentang suratku yang selama 3 tahun ini tidak pernah dibalas oleh Pia.
Aku hanya berpikir yang penting orang yang begitu aku cintai selama ini sekarang sudah berada disisiku.
Tanpa terasa waktu beranjak malam, tiba-tiba Pia memegang kedua belah pipiku dan memalingkan wajahku berhadapan dengan wajahnya sehingga mata kami beradu pandang.
Dalam temaram cahaya bulan aku melihat sorot mata Pia yang berkaca-kaca. “Ganar...aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menepati janjiku untuk kembali ketempat ini, apapun yang terjadi nanti...yang perlu kamu tau bahwa cintaku hanyalah untuk mu, aku lega sudah bisa menepati janji kita 5 tahun yang lalu....” suara Pia terdengar terbata-bata. “nar....demi aku kamu harus mencari orang yang benar-benar kamu cintai untuk menjadi penggantiku, aku hargai kesetiaanmu selama ini kepadaku, hal itulah yang membuat saat ini bisa terjadi” kata-kata Pia terdengar aneh bagiku, tapi aku tak kuasa untuk berkata-kata, lidahku serasa kelu oleh tajamnya sorot mata Pia.
Sambil menangis Pia melanjutkan kata-katanya “Nar....aku teramat mencintai kamu, tapi kamu harus lega menerima kenyataan ini, aku tenang setelah ini karena sudah memenuhi janjiku kepadamu untuk menemui kamu hari ini, tapi aku tidak bisa terus hidup bersama kamu......” setelah menyelesaikan kata-katanya Pia berbalik dan langsung berlari meninggalkanku dalam keadaan menangis.
Aku terdiam beberapa saat, kemudian aku tersentak dan tersadar. Aku berlari menyusul Pia sambil berteriak memanggil namanya. Aku merasa gerakan Pia begitu cepat sehingga aku tidak berhasil menyusulnya.
Sembari terus memanggil manggil nama Pia aku menyusuri bibir pantai mencari sosok Pia, tetapi lagi-lagi tidak berhasil kutemukan. Aku menduga Pia sudah pergi dengan kendaraan yang sudah menunggu dari tadi.
Selama beberapa hari aku keluar masuk penginapan yang ada di daerah ku untuk mencari keberadaan Pia, juga bertanya kepada teman-teman lama Pia untuk mengetahui keberadaan Pia. Tetapi semuanya nihil, tidak ada nama Pia terdaftar sebagai tamu penginapan, bahkan teman-teman lama Pia pun tidak pernah tau kalau Pia kembali kepulau ini karena mereka tidak pernah dikunjungi Pia.
Aku kecewa.....aku pikir, kebahagiaan yang akan aku dapat atas segala pengorbananku untuk menunggu sekian lama, tetapi ternyata kepedihan yang aku terima.
Lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri atas kebodohan yang telah aku lakukan selama ini. Aku merasa telah dibutakan oleh cinta suci yang aku punya, sehingga logikanya tidak aku pikirkan lagi.
Akhirnya aku berpikir lebih realistis, memang tidak mungkin rasanya aku untuk bersatu dengan Pia dengan adanya jurang perbedaan yang begitu besar diantara kami.
Aku berprediksi pasti Pia sudah mendapatkan jodoh yang sepadan dengan keadaan keluarga mereka. Sedikit demi sedikit aku sudah bisa menerima kenyataan pahit yang aku alami beberapa waktu yang lalu dan berusaha untuk menghapus nama Pia didalam hatiku, aku berusaha mengubur dalam-dalam segala kenangan yang selama ini aku pendam.
Selang 2 minggu setelah kejadian tersebut, aku ditugaskan oleh dinas tempatku bekerja untuk mengikuti diklat di Jakarta. Aku begitu antusias karena ini kali pertama aku datang ke Jakarta.
Selama di Jakarta hatiku tergelitik untuk datang ke alamat Pia, maksudku sekedar untuk melihat kabar Pia sekarang dan untuk menyampaikan rasa ikhlasku atas tindakannya yang telah meninggalkanku. Karena aku berfikir walaupun kami tidak jodoh tetapi tali silaturrahmi tetap harus dijaga karena kami dulu pernah saling menyayangi.
Dengan keberanian yang dengan susah payah aku kumpulkan, hari itu aku menuju ke alamat Pia yang aku tahu di jakarta, karena aku pikir inilah saatnya untuk mengetahui hal yang sebenarnya, karena belum tentu ada kali lain aku ditugaskan dijakarta lagi.
Tidak begitu susah untuk mencari alamat Pia karena posisi rumah yang terletak di jalan raya. Lama aku termenung di seberang jalan memandang rumah besar bercat krem berpagar hijau tinggi yang ada diseberangku, tidak salah lagi ini alamatnya batinku.
Sempat ada keinginanku untuk berbalik arah mengurungkan niatku. Tapi Ah....aku nggak perduli apa yang akan terjadi nanti, pikirku karena kapan lagi aku bisa bertemu dengan Pia untuk yang terakhir kalinya.
Akhirnya dengan tekad yang bulat aku menyeberang menuju rumah yang ada di depanku. Aku menekan bel yang ada dipagar, tak lama keluar laki-laki yang tampaknya adalah penjaga rumah, aku menanyakan kepada laki-laki itu mengenai kebenaran alamat yang aku catat dan dibenarkan oleh laki-laki itu.
“Bapak cari siapa?” ujar laki-laki penjaga rumah, “saya mau bertemu dengan Pia pak....” jawabku. Pria itu sontak tertegun.....”Maaf Bapak siapa ya...?” dengan sedikit nada heran lelaki itu bertanya.
Lalu aku mengaku adalah teman lama dan kusebutkan nama pulau daerahku. Mendengar hal ini lelaki itu berkata “Bapak tunggu dulu ya....,saya tanya yang punya rumah dulu” lelaki itu kembali masuk kedalam rumah, tak lama dia kembali dengan seorang Ibu yang menunggu diteras rumah. “Bapak masuk aja, bertemu dengan ibu yang punya rumah” ujar penjaga rumah sembari membukakan pagar untuk ku, sambil mengucapkan terima kasih aku bergegas menuju teras rumah itu.
Agak heran karena Ibu yang menungguku diteras rumah bukan Ibunya Pia, setelah mengucapkan salam akupun dipersilahkan duduk dikursi teras oleh Ibu itu.
Sedikit berbasa-basi sebelumnya, Ibu itu kemudian memperkenalkan diri sebagai Ibu Lisa yang adalah adik Ibunya Pia. Dan aku pun memperkenalkan diriku. Mendengar namaku dan daerah asalku, Ibu Lisa tertegun. Akupun kembali menanyakan keberadaan Pia.
Ibu Lisa termenung beberapa saat kemudian cerita mengalir dari mulutnya. Mendengar cerita sesungguhnya dari Ibu Lisa aku merasa lemas dan kepalaku terasa berkunang-kunang, bumi tempatku berpijak seakan berputar, aku hampir pingsan mendengar cerita Ibu Lisa.
Aku tidak kuasa mendengar semua hal yang diceritakan oleh Ibu Lisa, yang ku ingat dan terus terngiang ditelingaku hanyalah kecelakaan pesawat yang ditumpangi oleh Pia sekeluarga 3 tahun yang lalu, tidak ada seorangpun yang selamat dari keluarga Pia.
Langit kurasa runtuh menimpaku. Tak kuasa menahan kepedihan akupun pamit pulang kepada Ibu Lisa, sebelum aku beranjak tiba-tiba Ibu Lisa seperti teringat akan sesuatu dan meminta aku menunggu beberapa saat, Ibu Lisa pun masuk kedalam rumah dan tak lama kembali dengan setumpuk amplop surat yang masih utuh belum dibuka, setelah aku periksa ternyata itu adalah surat-surat yang aku kirimkan selama ini yang masih mereka kumpulkan.
Kemudian Ibu Lisa memberikan sebuah buku yang menyerupai diary yang ternyata adalah memang diarynya Pia yang didalamnya kata Ibu Lisa banyak tulisan mengenai diriku.
“Andalah yang berhak untuk menyimpan Diary ini nak ganar” ujar Ibu Lisa. Aku pun menerima barang-barang tersebut sembari mengucapkan terima kasih dan kemudian bergegas kembali ke mess dengan menumpang taxi.
Selama perjalanan di dalam taxi aku tak kuasa membendung air mata yang akhirnya tumpah keluar, tak ku perdulikan lagi tatapan bingung supir taxi dari balik kaca spion melihat keadaanku ini.
Sesampai di mess aku langsung masuk kekamar dan mengunci pintu dari dalam, setelah hatiku agak tenang aku pun mengambil wudhu dan sholat.
Selesai sholat perlahan aku buka lembar demi lembar isi diary Pia, setelah membaca isi diary tersebut baru aku tahu betapa besar dan dalam cinta Pia kepada diriku, kesetiaan yang kami ikrarkan dulu ternyata memang benar-benar dijaga oleh Pia.
Lagi-lagi aku mengutuk diriku yang bodoh karena telah sempat mempunyai prasangka buruk terhadap Pia beberapa waktu yang lalu.
Didalam diary itu juga ku baca betapa besarnya tekad Pia untuk memenuhi janjinya yang dia ikrarkan dulu. Tiba-tiba aku tersentak dan bulu kudukku agak merinding......ingat kejadian beberapa minggu yang lalu dimana Pia menemuiku di tempat kami mengikrarkan janji kami.
“Jadi......?” batinku, akupun mengucapkan istighfar, “yang datang kepadaku waktu itu....ah sulit untuk diterima akal sehat”. Yang aku yakini sekarang adalah begitu besar cinta Pia kepadaku dan begitu besar tekad seorang Pia untuk memenuhi janjinya walaupun dia sudah tiada.
Aku kembali berdoa semoga arwah Pia bisa tenang karena sudah memenuhi janjinya persis seperti yang dia ucapkan waktu itu. Dan aku juga berjanji didalam hati tidak akan menghapus rasa cintaku terhadap Pia sampai kapanpun.
Setelah 10 tahun berlalu, aku masih mempunyai kebiasaan duduk dikursi tempat aku dan Pia berikrar dulu, rasanya baru kemarin hal itu terjadi, kenangan yang tidak akan terhapus dalam episode hidupku.
“Ganar......” aku tersentak, suara itu begitu ku kenal, suara orang yang sangat aku cintai, tapi aku tau itu hanya halusinasi, aku masih sering merasa sosok Pia tetap ada didekatku dan duduk menemaniku menikmati pemandangan matahari tenggelam yang indah.
“Ganar......” aku menoleh, itu suara ibuku, “sampai kapan kamu akan terus begini nak...” Ibu selalu terenyuh apabila melihatku duduk di pondok ini sambil memandang kosong kedepan.
Ibu tak henti-hentinya berusaha membujukku untuk mencari pasangan hidup, tetapi sampai sekarang aku belum ada niat untuk itu, karena cintaku masih tetap selalu untuk Pia.
“Nar....sudah banyak tamu yang datang” ujar ibu ku, aku membalikkan badan, di hadapanku terpampang papan nama Pondok Pinar, yah.....dari hasil bekerja selama ini aku berhasil menabung untuk membangun rumah makan yang aku beri nama Pondok Pinar yang terletak persis dibelakang pondok kecil tempat aku mengikrarkan janji dengan Pia.
Pondok itu aku dedikasikan untuk almarhum Pia sebagai bukti kesetiaan dan cinta putih kami, dan kebetulan yang datang biasanya pasangan yang sedang berpacaran yang tak lama kemudian melangsungkan pernikahan, entah karena kebetulah atau tidak, aku tidak mau berfikir terlalu jauh, aku hanya bersyukur dan berharap mudah-mudahan hal itu karena pancaran kesetiaan dan cinta putih aku dan Pia.
By : Eko Christian