Post by Adhi birasenja on Jan 27, 2006 7:52:25 GMT -5
Aku patah hati dan kemudian tersesat
Sebuah prolog patah hati
Terpaksa menunggui malam, mencumbui keheningan bersama bintang-bintang yang tampak bagai lampu-lampu yang menempel di dinding langit.
Menanti embun pagi menyapa dari perjalanan yang panjang dan melelahkan. Melayang ke udara, terbang bersama angin malam. Melewati hutan, gunung dan batu-batu. Juga cinta dan benci.
Sampai disini, di tepi sungai, dimana batu dan air bercanda, menimbulkan suara gemericik tiada henti. Mereka sedang bermain timbul tenggelam. Binatang malam telah menghilang sejak beberapa jam yang lalu.
Sesekali angin berhembus lebih kencang, dinginnya semakin menusuk. Pori-pori kulit di tangan mulai membesar, bulu-bulu halusnya pun mulai berdiri. Juga bulu-bulu di leher bagian belakang.
Aku bangkit, berdiri, menghilangkan dingin, juga rasa takut yang mengelayut. Berjalan menjauhi sungai menuju bangunan yang menyerupai pos ronda. Hanya ukurannya saja yang lebih besar.
Itu adalah rumahku. Setidaknya untuk sekarang, karena memang aku tidur didalamnya. Semua bagian rumah ini terbuat dari kayu ulin. Sejenis kayu besi berwarna coklat yang hanya ada di Pulau Kalimantan.
Cahaya bintang yang memantul dari air sungai hanya membuat rumah itu nampak seperti bayangan yang berwarna hitam.
Rumah itu terletak dipinggir sungai, hanya perlu beberapa langkah untuk mencapai tepat bibir sungai, yang dibawahnya mengalir air sebening kaca.
Jika siang hari aku bisa melihat batu-batu kecil yang tertata sedemikian rupa didasar sungai, nampak kokoh susunan batu-batu itu, arus sungai yang deras pun tidak membuat batu-batu kecil itu berpindah tempat.
Setidaknya sejak aku berada di di tempat ini, batu sebesar telur ayam yang terletak dibawah tempat aku biasa berdiri dan melamun itu masih ditempat semula.
Sudah dua malam aku menghabiskan waktu seorang diri, ditempat ini, dirumah itu. Rumah terkutuk yang sebelumnya aku impikan. Rumah terkutuk yang harus aku bayar sangat mahal karena sisa tabunganku yang memang tinggal sedikit habis untuk membayar uang jaminan tinggal.
Kepada pemilik tempat ini aku tidak pernah mengatakan sampai kapan akan tinggal. Aku hanya mengatakan akan pergi jika penyewa berikutnya datang.
Konon katanya ditempat ini siapapun bisa menemukan surga. Hanya saja, ditempat ini tidak boleh membawa teman, atau pacar; tidak boleh membawa barang elektronik seperti radio, televisi, tape recorder atau yang lainnya.
Hiburanku satu-satunya adalah melihat batu dan air bermain timbul tenggelam. Terkadang aku ikut bermain dengan mereka.
Satu-satunya barang canggih yang disediakan adalah pesawat radio HT, itupun hanya bisa menghubungi pemilik tempat ini. Itu bagian dari pelayanan lebih yang dia berikan untuk semua penyewa, begitu kata pemilik tempat ini, dua hari yang lalu.
Rumah surga, begitu orang-orang menyebutnya. Tetapi bagiku ini adalah rumah terkutuk. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari jalan raya. Dua ratus meter pertama dari jalan itu harus melewati jalan setapak yang berliku-liku diantara tegakan rapat dipterocarpaceae.
Batang-batang pohon yang garis tengahnya hampir tiga kali ukuran tubuhku itu tersusun layaknya sekawanan pasukan yang sedang menghadang perjalanan siapa saja yang melewatinya.
Suara burung sikatan juga mengantar perjalananku ketika itu. Kata pemilik tempat ini jika beruntung aku bisa melihat jenis satwa-satwa yang lain.
Setelah itu ada jembatan panjang yang terbuat dari papan kayu selebar hampir satu meter, disusun melintang diatas balok-balok kayu setinggi kira-kira setengah meter dari permukaan tanah, dibuat disela-sela pohon.
Jika dilihat dari pesawat, jembatan ini seperti anak sungai yang bermuara di sungai di depan rumah terkutuk ini. Sungai ini lebarnya tidak lebih dari delapan meter. Sebenarnya tempat ini cocok untuk melepas kejenuhan terhadap suasana kota.
Tetapi aku tidak bisa menikmatinya. Menyesal aku telah menyewa tempat ini, tetapi aku malu untuk segera pulang kembali.
Sebulan yang lalu aku membaca iklan tentang tempat ini di koran. Satu minggu kemudian, aku datangi pemiliknya, aku memanggilnya Paman Sam.
Ketika aku mengatakan ingin menyewanya Paman Sam tidak percaya. Dia tidak percaya ada laki-laki muda yang tertarik dengan bagian dari masa lalunya yang ia sulap menjadi tempat istimewa bagi kalangan manusia yang akan mati, tidak lama lagi.
Menurutnya aku bukan orang yang pantas menyewa tempat itu. Aku bukan orang yang tidak bahagia. Seharusnya. Juga tidak akan segera mati.
Dia juga mengatakan, meski kematian adalah sebuah teka-teki tak terpecahkan yang diciptakan Tuhan agar manusia memiliki harapan. Tetapi ia yakin aku masih akan hidup puluhan tahun lagi di dunia ini.
Aku juga meyakini hal itu, sepanjang aku tetap mempertahankan rutinitasku sore hari. Tetapi keyakinannya itu bukan alasan yang kuat baginya untuk melarangku menyewa tempatnya.
Sekarang kusadari, Paman Sam benar aku seharusnya tidak berada ditempat terkutuk ini. Menyesal aku tidak turuti nasehatnya, lebih menyesal lagi aku memaksanya menerima uang terakhir yang kupunya.
Kukira aku tidak memerlukan uang lagi setelah tinggal di tempat ini. Akhirnya uang itu kupaksakan untuk jaminan tinggal di tempat yang aku kira bisa menemukan kedamaian jiwa dan memenuhi hatiku dengan lampu-lampu kebaikan.
Inginku hanya satu, hatiku penuh dengan bintang. Aku tak mungkin kembali, tidak mungkin aku menghilangkan lagi bintang dihati.
Andai saja aku tidak bisa mengambil satu bintang disana. Aku tidak ingin berdiri di tepi sungai ini dan hanya menatapnya.
Aku telah kembali duduk di kursi panjang yang berada di pinggir sungai. Tangan kananku memegang kayu sebesar jari kelingking laki-laki dewasa, panjangnya dua kali panjang tubuhku ketika aku duduk.
Tadi sebelum aku masuk ke rumah terkutuk itu, kayu ini kupakai untuk bermain bersama batu-batu dan air sungai, mungkin juga ikan-ikan yang ada dibawahnya turut bermain.
Sesekali aku merebahkan tubuhku, sekedar untuk meluruskan tulang punggung. Aku tidak berani melakukannya di dalam rumah surga itu, aku tidak ingin tujuanku gagal.
Aku teringat kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Paman Sam sebelum berpisah di jalan raya, aku tidak boleh tidur malam hari.
Ketika itu aku yakin sekali dengan apa yang akan aku dapatkan. Sekarang keyakinan itu mulai hilang dan aku rasanya tidak tahan lagi untuk terus terjaga malam hari.
Ini malam ketiga aku tidak tidur. Tadi siang, seperti juga siang-siang kemarin, aku merasa tidak cukup tidur. Aku ngantuk sekali, tetapi aku tidak ingin tidur dan takut tertidur. Jika aku berbaring di kursi panjang ini akan lebih sulit bagiku untuk tidur.
Tiba-tiba terjadi sentakan mioklonik yang membuatku terjaga dari tidur yang aku hindari. Sentakan ini adalah warisan dari nenek moyang seluruh umat manusia yang hidup diatas pepohonan.
Mereka mengembangkan refleks tersebut untuk berjaga-jaga supaya tidak terjatuh dari pohon ketika tidur. Meski aku tidak meyakini benar tentang sentakan itu. Tetapi aku harus berterima kasih kepada mereka yang mewariskan sentakan mioklonik yang membantuku untuk tetap terjaga hingga saat ini.
Aku kembali duduk, kaki kanan kuangkat ke atas kursi dan kuletakkan ujung daguku dilutut kaki kananku. Tatapan mataku tertuju ke arah sungai.
Entah mengapa, aku sepertinya bisa melihat seekor ikan kira-kira sebesar kelingking tanganku berenang melawan arus, berputar menyelinap diantara batu-batu.
Ini tidak mungkin, mana bisa aku melihat ikan sekecil itu didasar sungai pada tengah malam begini.
Aku angkat kakiku yang satunya lagi. Sepasang sandal jepit berwarna biru dibawah kursi. Kini aku duduk bersandar dan kedua kaki berada diatas kursi. Aku kembali menatap langit, kedua tanganku menyanggah bagian belakang kepalaku.
Ketika mataku kupejamkan, samar-samar aku mendengar suara, semakin lama semakin jelas tetapi aku tidak mengerti suara apa ini.
Hanya saja aku senang mendengarnya, sepertinya suara ini bisa menghibur dan menentramkan.
Kemudian aku mencium aroma yang tak seperti biasanya, belum pernah aku mencium bau seperti ini di sekitar tempat ini.
Di tempat lain aku juga tidak pernah mencium wangi seperti ini. Aku tidak bisa menjelaskan wangi seperti apa, tetapi aku senang sekali dengan wangi ini.
Aku juga merasakan seolah-olah angin berhenti. Ketika aku membuka mata semua itu masih ada. Aku bisa merasakan semuanya.
Suara ini, wangi ini, juga ikan yang berenang dibawah sana. Kedua kakiku kuturunkan dari kursi. Aku berdiri, melihat ke bawah. Sekali lagi mataku bisa menembus air sungai, seekor ikan kira-kira sebesar kelingking tanganku, mungkin ini ikan yang terlihat olehku beberapa saat yang lalu, ia kelihatan diam.
Seolah merasakan sesuatu yang juga sedang aku rasakan saat ini. Mungkinkah ini tanda-tanda aku sedang mendekati surga.
Mungkinkah ini rasa damai yang sering diceritakan orang-orang. Mungkinkah ikan itu adalah penyampai pesan dan utusan yang akan menjemput kedatanganku.
Aku ragu, tapi aku ingin terus melangkah maju, mendatangi penjemputku.
Kini kedua kakiku telah berada dibibir sungai, beberapa bongkahan tanah dari dinding sungai dibawah kakiku berjatuhan, terdengar bunyi air bercipratan.
Aku melihat ke atas, bintang-bintang itu masih bersinar. Aku merasa mereka sedang menerangi awal perjalananku.
Aku menutup mataku. Aku tidak bisa berpamitan dengan orang yang aku cintai, seharusnya aku minta maaf untuk itu.
Barangkali aku tidak bisa bertemu dengan mereka untuk waktu yang lama. Atau bahkan tidak mungkin bisa bertemu lagi.
Tetapi hampir semua pertemuanku yang terakhir dengan orang-orang yang aku cintai adalah pertemuan yang tidak menyenangkan, karena semuanya berakhir dengan pertengkaran.
Keponakan kecilku yang cantik, selalu menyambutku ketika aku pulang ke rumah. Terakhir kali aku membentaknya karena ia memaksa Santi untuk membersihkan lantai kamarnya.
Kakak perempuanku yang meskipun agak galak selalu memberiku uang saku setelah ia tahu aku tidak lagi berpenghasilan. Pertemuan terakhirku dengannya adalah pertengkaran karena ia sedikit memaksaku untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang tidak aku sukai.
Ndaru, perempuan yang pernah paling aku cintai dan saat ini paling tidak ku percaya diantara semua perempuan yang pernah ku kenal, tetapi aku tidak pernah bisa melupakannya. Hingga saat ini aku tidak mengerti alasanku untuk membencinya. Apakah hanya karena aku pernah mencintainya, aku harus membencinya untuk menghilangkan rasa cinta itu. Atau karena semua kepura-puraannya.
Wajah-wajah mereka silih berganti terus membayangiku. Ndaru melambaikan tangan dari kejauhan, memberi isyarat agar aku mendatanginya.
Ia berlari menjauh ketika aku hampir saja bisa mengapai tangannya. Ia melambaikan tangannya lagi, kali ini ia tersenyum.
Aku mengejarnya, semakin lama semakin dekat. Beberapa langkah lagi aku pasti dapat mengapainya, menarik tubuhnya dan mendekapnya.
Tetapi ia menghilang, dan tiba-tiba Rini telah berada di hadapanku, aku tersenyum dan menyapanya tetapi ia diam saja.
Mungkin ia masih marah. Pesanku yang terakhir ia balas dengan caci maki. Aku berusaha untuk tetap tersenyum dan meraihnya.
Kini wajah bapak dan ibuku silih berganti datang memenuhi syaraf-syaraf penglihatan dan ingatanku. Mataku yang terpejam tak mampu menghalangi munculnya wujud kedua orang tuaku. Mereka sekarang tepat dihadapanku, tetapi tidak menyapa. Mereka hanya berdiri menatapiku dan tidak tersenyum. Aku sadar, aku tidak pantas untuk mendapatkan senyumnya karena aku tidak pernah membuat mereka bahagia.
Mereka juga tidak berbicara, tetapi aku tahu mereka datang dari bintang-bintang. Tiba-tiba mereka memegang tanganku, bapak disebelah kanan dan ibu di sebelah kiri. Menarik kedua tanganku dan mengajakku pergi, terbang bersama mereka. Aku bertahan dan berusaha melepaskan kedua tanganku. Mereka memaksa, aku merasakan cengkeraman mereka semakin kuat.......
By:
Adi Supriadi (Birasenja)
Sebuah Bahan Buku : "Kuukir Air Mataku Dalam Indahnya Syair" , yang masih tertunda.
Sebuah prolog patah hati
Terpaksa menunggui malam, mencumbui keheningan bersama bintang-bintang yang tampak bagai lampu-lampu yang menempel di dinding langit.
Menanti embun pagi menyapa dari perjalanan yang panjang dan melelahkan. Melayang ke udara, terbang bersama angin malam. Melewati hutan, gunung dan batu-batu. Juga cinta dan benci.
Sampai disini, di tepi sungai, dimana batu dan air bercanda, menimbulkan suara gemericik tiada henti. Mereka sedang bermain timbul tenggelam. Binatang malam telah menghilang sejak beberapa jam yang lalu.
Sesekali angin berhembus lebih kencang, dinginnya semakin menusuk. Pori-pori kulit di tangan mulai membesar, bulu-bulu halusnya pun mulai berdiri. Juga bulu-bulu di leher bagian belakang.
Aku bangkit, berdiri, menghilangkan dingin, juga rasa takut yang mengelayut. Berjalan menjauhi sungai menuju bangunan yang menyerupai pos ronda. Hanya ukurannya saja yang lebih besar.
Itu adalah rumahku. Setidaknya untuk sekarang, karena memang aku tidur didalamnya. Semua bagian rumah ini terbuat dari kayu ulin. Sejenis kayu besi berwarna coklat yang hanya ada di Pulau Kalimantan.
Cahaya bintang yang memantul dari air sungai hanya membuat rumah itu nampak seperti bayangan yang berwarna hitam.
Rumah itu terletak dipinggir sungai, hanya perlu beberapa langkah untuk mencapai tepat bibir sungai, yang dibawahnya mengalir air sebening kaca.
Jika siang hari aku bisa melihat batu-batu kecil yang tertata sedemikian rupa didasar sungai, nampak kokoh susunan batu-batu itu, arus sungai yang deras pun tidak membuat batu-batu kecil itu berpindah tempat.
Setidaknya sejak aku berada di di tempat ini, batu sebesar telur ayam yang terletak dibawah tempat aku biasa berdiri dan melamun itu masih ditempat semula.
Sudah dua malam aku menghabiskan waktu seorang diri, ditempat ini, dirumah itu. Rumah terkutuk yang sebelumnya aku impikan. Rumah terkutuk yang harus aku bayar sangat mahal karena sisa tabunganku yang memang tinggal sedikit habis untuk membayar uang jaminan tinggal.
Kepada pemilik tempat ini aku tidak pernah mengatakan sampai kapan akan tinggal. Aku hanya mengatakan akan pergi jika penyewa berikutnya datang.
Konon katanya ditempat ini siapapun bisa menemukan surga. Hanya saja, ditempat ini tidak boleh membawa teman, atau pacar; tidak boleh membawa barang elektronik seperti radio, televisi, tape recorder atau yang lainnya.
Hiburanku satu-satunya adalah melihat batu dan air bermain timbul tenggelam. Terkadang aku ikut bermain dengan mereka.
Satu-satunya barang canggih yang disediakan adalah pesawat radio HT, itupun hanya bisa menghubungi pemilik tempat ini. Itu bagian dari pelayanan lebih yang dia berikan untuk semua penyewa, begitu kata pemilik tempat ini, dua hari yang lalu.
Rumah surga, begitu orang-orang menyebutnya. Tetapi bagiku ini adalah rumah terkutuk. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari jalan raya. Dua ratus meter pertama dari jalan itu harus melewati jalan setapak yang berliku-liku diantara tegakan rapat dipterocarpaceae.
Batang-batang pohon yang garis tengahnya hampir tiga kali ukuran tubuhku itu tersusun layaknya sekawanan pasukan yang sedang menghadang perjalanan siapa saja yang melewatinya.
Suara burung sikatan juga mengantar perjalananku ketika itu. Kata pemilik tempat ini jika beruntung aku bisa melihat jenis satwa-satwa yang lain.
Setelah itu ada jembatan panjang yang terbuat dari papan kayu selebar hampir satu meter, disusun melintang diatas balok-balok kayu setinggi kira-kira setengah meter dari permukaan tanah, dibuat disela-sela pohon.
Jika dilihat dari pesawat, jembatan ini seperti anak sungai yang bermuara di sungai di depan rumah terkutuk ini. Sungai ini lebarnya tidak lebih dari delapan meter. Sebenarnya tempat ini cocok untuk melepas kejenuhan terhadap suasana kota.
Tetapi aku tidak bisa menikmatinya. Menyesal aku telah menyewa tempat ini, tetapi aku malu untuk segera pulang kembali.
Sebulan yang lalu aku membaca iklan tentang tempat ini di koran. Satu minggu kemudian, aku datangi pemiliknya, aku memanggilnya Paman Sam.
Ketika aku mengatakan ingin menyewanya Paman Sam tidak percaya. Dia tidak percaya ada laki-laki muda yang tertarik dengan bagian dari masa lalunya yang ia sulap menjadi tempat istimewa bagi kalangan manusia yang akan mati, tidak lama lagi.
Menurutnya aku bukan orang yang pantas menyewa tempat itu. Aku bukan orang yang tidak bahagia. Seharusnya. Juga tidak akan segera mati.
Dia juga mengatakan, meski kematian adalah sebuah teka-teki tak terpecahkan yang diciptakan Tuhan agar manusia memiliki harapan. Tetapi ia yakin aku masih akan hidup puluhan tahun lagi di dunia ini.
Aku juga meyakini hal itu, sepanjang aku tetap mempertahankan rutinitasku sore hari. Tetapi keyakinannya itu bukan alasan yang kuat baginya untuk melarangku menyewa tempatnya.
Sekarang kusadari, Paman Sam benar aku seharusnya tidak berada ditempat terkutuk ini. Menyesal aku tidak turuti nasehatnya, lebih menyesal lagi aku memaksanya menerima uang terakhir yang kupunya.
Kukira aku tidak memerlukan uang lagi setelah tinggal di tempat ini. Akhirnya uang itu kupaksakan untuk jaminan tinggal di tempat yang aku kira bisa menemukan kedamaian jiwa dan memenuhi hatiku dengan lampu-lampu kebaikan.
Inginku hanya satu, hatiku penuh dengan bintang. Aku tak mungkin kembali, tidak mungkin aku menghilangkan lagi bintang dihati.
Andai saja aku tidak bisa mengambil satu bintang disana. Aku tidak ingin berdiri di tepi sungai ini dan hanya menatapnya.
Aku telah kembali duduk di kursi panjang yang berada di pinggir sungai. Tangan kananku memegang kayu sebesar jari kelingking laki-laki dewasa, panjangnya dua kali panjang tubuhku ketika aku duduk.
Tadi sebelum aku masuk ke rumah terkutuk itu, kayu ini kupakai untuk bermain bersama batu-batu dan air sungai, mungkin juga ikan-ikan yang ada dibawahnya turut bermain.
Sesekali aku merebahkan tubuhku, sekedar untuk meluruskan tulang punggung. Aku tidak berani melakukannya di dalam rumah surga itu, aku tidak ingin tujuanku gagal.
Aku teringat kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Paman Sam sebelum berpisah di jalan raya, aku tidak boleh tidur malam hari.
Ketika itu aku yakin sekali dengan apa yang akan aku dapatkan. Sekarang keyakinan itu mulai hilang dan aku rasanya tidak tahan lagi untuk terus terjaga malam hari.
Ini malam ketiga aku tidak tidur. Tadi siang, seperti juga siang-siang kemarin, aku merasa tidak cukup tidur. Aku ngantuk sekali, tetapi aku tidak ingin tidur dan takut tertidur. Jika aku berbaring di kursi panjang ini akan lebih sulit bagiku untuk tidur.
Tiba-tiba terjadi sentakan mioklonik yang membuatku terjaga dari tidur yang aku hindari. Sentakan ini adalah warisan dari nenek moyang seluruh umat manusia yang hidup diatas pepohonan.
Mereka mengembangkan refleks tersebut untuk berjaga-jaga supaya tidak terjatuh dari pohon ketika tidur. Meski aku tidak meyakini benar tentang sentakan itu. Tetapi aku harus berterima kasih kepada mereka yang mewariskan sentakan mioklonik yang membantuku untuk tetap terjaga hingga saat ini.
Aku kembali duduk, kaki kanan kuangkat ke atas kursi dan kuletakkan ujung daguku dilutut kaki kananku. Tatapan mataku tertuju ke arah sungai.
Entah mengapa, aku sepertinya bisa melihat seekor ikan kira-kira sebesar kelingking tanganku berenang melawan arus, berputar menyelinap diantara batu-batu.
Ini tidak mungkin, mana bisa aku melihat ikan sekecil itu didasar sungai pada tengah malam begini.
Aku angkat kakiku yang satunya lagi. Sepasang sandal jepit berwarna biru dibawah kursi. Kini aku duduk bersandar dan kedua kaki berada diatas kursi. Aku kembali menatap langit, kedua tanganku menyanggah bagian belakang kepalaku.
Ketika mataku kupejamkan, samar-samar aku mendengar suara, semakin lama semakin jelas tetapi aku tidak mengerti suara apa ini.
Hanya saja aku senang mendengarnya, sepertinya suara ini bisa menghibur dan menentramkan.
Kemudian aku mencium aroma yang tak seperti biasanya, belum pernah aku mencium bau seperti ini di sekitar tempat ini.
Di tempat lain aku juga tidak pernah mencium wangi seperti ini. Aku tidak bisa menjelaskan wangi seperti apa, tetapi aku senang sekali dengan wangi ini.
Aku juga merasakan seolah-olah angin berhenti. Ketika aku membuka mata semua itu masih ada. Aku bisa merasakan semuanya.
Suara ini, wangi ini, juga ikan yang berenang dibawah sana. Kedua kakiku kuturunkan dari kursi. Aku berdiri, melihat ke bawah. Sekali lagi mataku bisa menembus air sungai, seekor ikan kira-kira sebesar kelingking tanganku, mungkin ini ikan yang terlihat olehku beberapa saat yang lalu, ia kelihatan diam.
Seolah merasakan sesuatu yang juga sedang aku rasakan saat ini. Mungkinkah ini tanda-tanda aku sedang mendekati surga.
Mungkinkah ini rasa damai yang sering diceritakan orang-orang. Mungkinkah ikan itu adalah penyampai pesan dan utusan yang akan menjemput kedatanganku.
Aku ragu, tapi aku ingin terus melangkah maju, mendatangi penjemputku.
Kini kedua kakiku telah berada dibibir sungai, beberapa bongkahan tanah dari dinding sungai dibawah kakiku berjatuhan, terdengar bunyi air bercipratan.
Aku melihat ke atas, bintang-bintang itu masih bersinar. Aku merasa mereka sedang menerangi awal perjalananku.
Aku menutup mataku. Aku tidak bisa berpamitan dengan orang yang aku cintai, seharusnya aku minta maaf untuk itu.
Barangkali aku tidak bisa bertemu dengan mereka untuk waktu yang lama. Atau bahkan tidak mungkin bisa bertemu lagi.
Tetapi hampir semua pertemuanku yang terakhir dengan orang-orang yang aku cintai adalah pertemuan yang tidak menyenangkan, karena semuanya berakhir dengan pertengkaran.
Keponakan kecilku yang cantik, selalu menyambutku ketika aku pulang ke rumah. Terakhir kali aku membentaknya karena ia memaksa Santi untuk membersihkan lantai kamarnya.
Kakak perempuanku yang meskipun agak galak selalu memberiku uang saku setelah ia tahu aku tidak lagi berpenghasilan. Pertemuan terakhirku dengannya adalah pertengkaran karena ia sedikit memaksaku untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang tidak aku sukai.
Ndaru, perempuan yang pernah paling aku cintai dan saat ini paling tidak ku percaya diantara semua perempuan yang pernah ku kenal, tetapi aku tidak pernah bisa melupakannya. Hingga saat ini aku tidak mengerti alasanku untuk membencinya. Apakah hanya karena aku pernah mencintainya, aku harus membencinya untuk menghilangkan rasa cinta itu. Atau karena semua kepura-puraannya.
Wajah-wajah mereka silih berganti terus membayangiku. Ndaru melambaikan tangan dari kejauhan, memberi isyarat agar aku mendatanginya.
Ia berlari menjauh ketika aku hampir saja bisa mengapai tangannya. Ia melambaikan tangannya lagi, kali ini ia tersenyum.
Aku mengejarnya, semakin lama semakin dekat. Beberapa langkah lagi aku pasti dapat mengapainya, menarik tubuhnya dan mendekapnya.
Tetapi ia menghilang, dan tiba-tiba Rini telah berada di hadapanku, aku tersenyum dan menyapanya tetapi ia diam saja.
Mungkin ia masih marah. Pesanku yang terakhir ia balas dengan caci maki. Aku berusaha untuk tetap tersenyum dan meraihnya.
Kini wajah bapak dan ibuku silih berganti datang memenuhi syaraf-syaraf penglihatan dan ingatanku. Mataku yang terpejam tak mampu menghalangi munculnya wujud kedua orang tuaku. Mereka sekarang tepat dihadapanku, tetapi tidak menyapa. Mereka hanya berdiri menatapiku dan tidak tersenyum. Aku sadar, aku tidak pantas untuk mendapatkan senyumnya karena aku tidak pernah membuat mereka bahagia.
Mereka juga tidak berbicara, tetapi aku tahu mereka datang dari bintang-bintang. Tiba-tiba mereka memegang tanganku, bapak disebelah kanan dan ibu di sebelah kiri. Menarik kedua tanganku dan mengajakku pergi, terbang bersama mereka. Aku bertahan dan berusaha melepaskan kedua tanganku. Mereka memaksa, aku merasakan cengkeraman mereka semakin kuat.......
By:
Adi Supriadi (Birasenja)
Sebuah Bahan Buku : "Kuukir Air Mataku Dalam Indahnya Syair" , yang masih tertunda.